Suku Baduy terletak di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Dengan populasi penduduk sebesar 5000-8000 orang, mereka hidup dengan mengisolasi diri dari pengaruh dunia luar, khususnya daerah Baduy Dalam.
Nama “orang baduy” yang melekat pada penduduk Suku Baduy berasal dari para peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan penduduk Arab Badawi. Kemungkinan lainnya adalah nama tersebut berasal dari Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang terletak di utara wilayah Suku Baduy. Orang Baduy itu sendiri, lebih senang memanggil diri mereka dengan sebutan “Orang Kanekes”.
Suku yang termasuk dari sub-etnis Sunda ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Suku Baduy Luar lebih membuka dirinya terhadap pengaruh dari luar.. Mereka sudah mengenal teknologi berupa barang elektronik, menggunakan peralatan seperti gergaji untuk membangun rumah, berpakaian lebih modern, dan beberapa sudah memeluk agama Islam.
Sementara itu, Orang Kanekes Dalam adalah mereka yang masih sangat memegang adat istiadat dari nenek moyang mereka. Orang Suku Kanekes Dalam tidak diperkenankan untuk menggunakan kendaraan, alas kaki, teknologi, dan berkewajiban memakai pakaian berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Untuk Momopal yang ingin mengunjungi daerah Baduy Dalam, maka Momopal harus mengikuti peraturan-peraturan tersebut.
Orang Kanekes memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan, yaitu ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Menurut kepercayaan mereka, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal-usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Rumah-rumah yang ada di Kanekes masih terbuat dari bambu dan ijuk, serta semuanya menghadap ke arah yang sama. Lingkungan yang masih asri sangat terasa ketika Momopal berjalan-jalan mengelilingi perkampungan. Orang Kanekes selalu menjaga lingkungannya sebagai bentuk penghormatan kepada kepercayaan mereka. Sebelum masuk ke perkampungan Baduy Dalam anda akan melewati sebuah jembatan kayu yang tidak terlalu lebar. Dari atas jembatan, dapat melihat aliran air yang sangat jernih.
Pada saat ini, kunjungan ke Kanekes semakin meningkat, bahkan bisa sampai ratusan orang pada satu kali kunjungan. Namun, Momopal tidak diperbolehkan menggunakan sabun, pasta gigi, dan mengabadikan gambar di daerah Kanekes Dalam. Sayangnya, bagi Non-WNI, sampai saat ini Kanekes Dalam masih tidak bisa dimasuki.
Itu lah serpihan keanekaragam budaya yang Indonesia miliki. Banyak pelajaran yang dapat kita dapatkan dari Orang Kanekes, salah satunya adalah bagaimana mereka bisa menjaga alam di sekitar tempat tinggal mereka tetap asri. Kesetiaan mereka terhadap ajaran nenek moyang, membuat mereka selalu mencintai dan merawat alam. Hal tersebut lah yang patut kita tiru demi terciptanya alam Indonesia yang selalu indah.